Ya betul, Mayday bukan hanya sekedar hari buruh yang berhak diakui oleh mereka yang merasa dirinya buruh. Mayday adalah hari bagi setiap orang, setiap individu yang merasa kebebasan mereka terebut oleh sebuah sistem ekonomi dan budaya yang hanya menyisakan ruang untuk sebuah aktifitas rutin yang penuh perhitungan untung-rugi.
Hari bagi mereka yang berhasrat menjadi manusia, bukan hanya sekedar penjual dan atau pembeli. Mereka yang menolak diri mereka memimpikan hidup dengan keragaman nilai bukan hanya hidup tanpa kemandirian, kreatifitas, kekuatan dan penemuan-penemuan nilai-nilai baru yang tidak terdesak dan tergusur oleh satu nilai: ‘nilai ekonomi’. Mereka yang menolak mendasarkan hidup mereka hanya pada satu kepentingan dan tujuan: ‘kepentingan dan orientasi pasar’. Mereka yang menginginkan hidup dengan petualangan dan dengan kontrol penuh atas diri mereka sendiri dalam genggaman tangan mereka. Hari bagi setiap individu yang menolak dunia yang hanya menghargai orang dari seberapa banyak property yang ia miliki, seberapa besar kesuksesan yang ia peroleh dan seberapa besar kekuasaan yang ia raih. Hari bagi setiap orang yang menolak untuk di-standarisasi, di massifikasi, diasingkan dan direduksi eksistensinya sebagai komoditas belaka.
Mayday bukan hanya hari para buruh yang menolak diperbudak hanya karena mereka tak punya modal dan melacurkan diri mereka didalam pabrik-pabrik untuk sekedar kebutuhan hidup sehari-hari namun juga hari bagi seorang pekerja kerah putih yang bekerja di sebuah korporasi dan menolak jadi kelas menengah. Hari bagi seorang profesional muda yang menolak menjadi tua dan meninggalkan profesi mereka. Hari bagi seorang agen asuransi yang menjelaskan pada setiap klien mereka bahwa tak pernah ada jaminan polis yang cocok bagi hidup mereka, hari bagi seorang penyair yang menghidupi puisinya dan hari seorang rapper yang mengasah skill-nya hingga ke level gila-gilaan dan menolak menjualnya ketangan sebuah korporasi rekaman. Hari bagi seorang punk rock yang berhenti di-mohawk dan keluar dari stereotipikal ‘punk rock’ dan berbagi pengetahuan tentang independensi komunitas dengan seorang Darul Arqam. Hari bagi seorang gitaris grindcore yang tak lagi menulis lagu tentang kematian karena sadar bahwa kematian adalah hal yang normal didalam masyarakat yang hanya sekedar bertahan hidup. Hari bagi seorang seniman yang memberi jari tengah pada kurator. Hari bagi seorang religius yang membenci institusi agama dan menolak seruan perang agama. Hari bagi seorang desainer pada sebuah perusahaan periklanan yang mem-vandal sendiri billboard hasil ide mereka dan hari bagi seorang anak keturunan sunda yang melecehkan omongan negatif ayahnya tentang ras medan dan cina dan kemudian menyebut ayahnya sebagai seorang rasis. Hari bagi seorang pegawai bank yang pura-pura lupa catatan keuangan satu semester terakhir dan menyimpannya untuk dijual ke tukang beling. Hari bagi seorang ibu rumah tangga yang menolak mencuci piring dan pakaian suami jika hanya lantaran ‘kewajiban moral seorang istri’. Hari bagi seorang anggota geng bermotor yang tak lagi yakin bahwa hidup dapat dijalani diatas sepeda motor dan tak percaya omongan ‘senior’ feodal mereka bahwa membunuh anggota geng musuh dapat mewakili eksistensi mereka. Hari bagi seorang anak SMA yang tak ingin mencari identitas didalam sebuah pencitraan sabun mandi, odol, deodorant atau sepatu Nike dan hari bagi seorang tamtama yang tak yakin lagi dunia ini dapat dibangun dengan komando dan sadar ia punya potensi kebebasan yang tak bisa dicampuri oleh patriotisme dan bacot komandan mereka. Hari bagi seorang intel yang muak mengintai hidup orang lain untuk kemudian mulai sibuk ‘memata-matai’ hidupnya sendiri. Hari bagi pengamen jalanan yang menolak mengemis belas kasihan penumpang angkot dan tetap bernyanyi sepanjang hari dan memakan makanan dari tong sampah sebuah Plaza. Hari bagi sepasang kekasih yang menjalani cinta atas dasar restu dan komentar orang lain dan tidak lagi menghakimi cinta atas alasan kelamin. Hari bagi seorang homoseks yang tak lagi percaya pada klub-klub gay dan mencari kebebesan dengan membakar tabloid “Gaya Nusantara”. Hari bagi seorang karyawan McDonalds yang memperlambat layanan bagi konsumen dan mencuri stok makanan yang terbuang dari gudang dan hari bagi seorang ABG yang membawa rekan-rekannya nangkring di fast food berjam-jam dengan bermodal air putih dan timbel dari rumah dan tak membeli makanan disana. Hari bagi seorang gemar film yang bertanya 1000 kali pada petugas tiket “film apa hari ini?” dan hari bagi seorang seniman performance yang berkostum satpam pada sebuah bank dan breakdance sepanjang hari. Hari bagi mereka yang berikrar akan memblokade setiap jalan yang akan dilalui birokrat IMF, World bank dan WTO di seluruh Indonesia, Hari bagi seorang aktivis lascar jihad yang mempropagandakan perang melawan Israel tanpa terperangkap retorika rasis dan perang agama, Hari bagi seorang aktivis mahasiswa yang tak percaya lagi retorika gerakan moral dan membuat nilai-nilainya moralnya sendiri yang bukan demi nilai-nilai dari slogan-slogan ilusi seperti “Demi Tuhan, Bangsa dan Almamater”. Hari bagi seorang nasionalis yang tak lagi menyembah patung burung garuda dan mulai membangun komunitas bukan atas alasan cinta tanah air dan hari bagi seorang fasis yang bunuh diri.
Dan yang paling pasti, Mayday adalah hari bagi kami yang tak peduli kalian mengerti selebaran ini atau tidak, tak peduli selebaran ini berguna bagi kalian atau tidak. Di sebuah era dimana massa mayoritas melecehkan kebebasan individu dan kekuatan individu dipakai untuk meraih massa guna kepentingan dirinya dan segelintir orang kami tak tertarik untuk ikut dalam kompetisi meraih simpati dan dukungan ‘massa’. Bagi kami kekuatan ‘massa’ hanya akan lahir jika setiap orang menyadari kekuatannya sendiri untuk dapat bebas dan melakukan apa yang dikatakan hasratnya bukan hasrat yang diciptakan oleh elit, birokrat, pemilik modal, kebutuhan pasar, dan tradisi. Bagi kami, Mayday bukan ‘hari buruh’ karena momen peringatan model begini bagi kami hanyalah omong kosong. Kami tak ingin bebas hanya dalam satu hari saja. Kami tak ingin sebuah hidup hanya diatas sebuah panggung festival sehari seperti layar tancep yang jika ada gerimis langsung bubar. Kami ingin festival ‘setiap hari’ yang memfasilitasi lantai dansa bagi ‘setiap yang hidup’. Mayday adalah hari kita semua ketika menghajar kebosanan sebuah dunia.
Rebut dan curi kembali hidup kalian, tuntutlah yang tak mungkin !!!
LET’S GET THE ‘PARTY’ STARTED !!!
SEBARKAN DAN TULARKAN!!
*Tulisan colongan ini sudah pernah disebarkan beberapa tahun yang lalu. Aku share lagi, karena mungkin kawan-kawan ada yang belum membacanya.
Sumber: HITAM MERAH,